Vrydag 10 Mei 2013

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
( PPOK )
I.                   PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh bronkitis kronis atau empisema. Obstruksi aliran udara pada umumnya progresif kadang diikuti oleh hiperaktivitas jalan nafas dan kadangkala parsial reversibel, sekalipun e,pisema dan bronkitis kronis harus didiagnosa dan dirawat sebagai penyakit khusus, sebagian besar pasien PPOK mempunyai tanda dan gejala kedua penyakit tersebut. Sekitar 14 juta orang Amerika terserang PPOK dan Asma sekarang menjadi penyebab kematian keempat di Amerika Serikat. Lebih dari 90.000 kematian dilaporkan setiap tahunnya. Rata-rata kematian akibat PPOK meningkat cepat, terutama pada penderita laki-laki lanjut usia.
Oleh karena itu penyakit PPOK haruslah mendapatkan pengobatan yang baik dan terutama perawatan yang komprehensif, semenjak serangan sampai dengan perawatan di rumah sakit. Dan yang lebih penting dalah perawatan untuk memberikan pengetahuan dan pendidikan kepada pasien dan keluarga tentang perawatan dan pencegahan serangan berulang pada pasien PPOK di rumah. Hal ini diperlukan perawatan yang komprehensif dan paripurna saat di Rumah Sakit.
II.                DEFINISI
PPOK merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara di dalam saluran pernapasan yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial dan behubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/ berbahaya. Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah istilah medis untuk bronkitis kronis dan emfisema yang menyulitkan pernafasan. Bronkitis kronis adalah peradangan saluran udara paru (bronkus) yang ditandai oleh batuk berdahak selama minimal tiga bulan dalam setahun pada dua tahun berturut-turut. Emfisema adalah kondisi di mana kantung udara (alveolus) paru-paru kehilangan kemampuannya untuk mengembang dan mengempis. PPOK adalah masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab kematian no. 4 di Indonesia pada tahun 2010 menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

III.             PATOGENESA

Paru-paru adalah sepasang kantung udara yang berada di kedua sisi dada. Ketika Anda bernafas, udara tersedot melalui hidung dan mulut dan menuruni trakea (batang tenggorokan). Trakea terbagi menjadi dua pipa saluran udara, satu pada setiap sisi paru, yang kemudian bercabang di lobus paru-paru (dua cabang di sebelah kiri, tiga di sebelah kanan). Pipa-pipa cabang yang disebut bronkus ini kemudian terbagi ke pipa-pipa kecil yang disebut bronkiolus, yang berujung di kantung-kantung udara kecil yang disebut alveolus (jamak: alveoli). Alveolus dilingkupi oleh jaringan pembuluh darah kecil (kapiler). Di dalam alveolus ini pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi. Oksigen berjalan dari udara dalam alveolus ke kapiler, dan karbon dioksida berjalan ke arah sebaliknya. Setelah masuk ke dalam darah, oksigen dipompa dari paru-paru ke jantung dan kemudian ke seluruh tubuh. Karbon dioksida di dalam alveolus dikeluarkan ke udara luar.Itulah cara kerja paru-paru yang sehat.Pada penderita PPOK, prosesnya menjadi kacau dan kurang efisien. Pada bronkitis kronis, bronki dan bronkiolus menjadi rusak dan meradang. Pada emfisema, alveolus menjadi hancur. Sebagian besar kasus PPOK melibatkan kombinasi antara emfisema dan bronkitis kronis. Pada PPOK yang parah, transfer oksigen dan karbon dioksida sangat buruk sehingga penderita mati lemas.
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah
- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
Konsep patogenesa PPOK



IV.  ETIOLOGI

Kebiasaan merokok merupakan penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.  Selain itu infeksi dan polusi juga salah satu penyebabnya, ada juga yang  berhubungan dengan faktor keturunan, alergi, umur serta predisposisi genetik, tetapi belum diketahui dengan jelas apakah faktor-faktor tersebut berperan atau tidak.

1.      Rokok

Menurut buku report of the WHO expert comitte on smoking control, rokok adalah penyebab utama timbulnya COPD. Secara pisiologis rokok berhubungan langsung dengan hiperflasia kelenjar mukosa bronkus dan metaplasia skuamulus epitel saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi akut. Menurut Crofton & Doouglas merokok menimbulkan pula inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofage alveolar dan surfaktan.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a.  Riwayat merokok
Ø  Perokok aktif
Ø  Perokok pasif
Ø  Bekas perokok
b.  Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
Ø  Ringan : 0-200
Ø  Sedang : 200-600
Ø  Berat : >600
2.      Infeksi
Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang penderita bronchitiskoronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, sertamenyebabkan kerusakan paru bertambah. Ekserbasi bronchitis koronis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudaian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
3.      Polusi
Polusi zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan brokhitis adalah zat pereduksi seperti O2, zat- zat pengoksidasi seperti N2O, hydrocarbon,aldehid dan ozon. (Ilmu penyakit dalam, 1996:755).
Pada tipe emfisema yang langka, penyebabnya adalah kondisi genetik di mana terdapat kekurangan antitripsin alfa-1. Protein ini biasanya membantu melindungi paru-paru dari enzim berbahaya lain yang dapat menghancurkan jaringan paru-paru. Pada orang dengan defisiensi antitripsin alfa-1, merokok sangat berbahaya karena mempercepat perkembangan emfisema.

V.       GEJALA
Penderita PPOK biasanya adalah perokok atau memiliki riwayat perokok berat (satu pak atau lebih sehari) selama 20 tahun atau lebih. Selain riwayat merokok, kondisi berikut dapat mengindikasikan PPOK:
  • Sesak nafas (dispnea), pada awalnya sesak nafas hanya dialami setelah beraktivitas fisik. Namun, ketika paru-paru semakin rusak, sesak nafas terjadi ketika melakukan pekerjaan harian rutin seperti berjalan dan menyiram tanaman atau bahkan saat beristirahat.
  • Mengi dan batuk kronis, seringkali disertai dahak, yang berlangsung lama (berbulan-bulan).
  • Sering mendapat infeksi paru, paringan paru-paru yang rusak lebih mudah terinfeksi, sehingga menyebabkan bronkitis akut dan pneumonia, terutama di musim hujan saat influenza merebak. Saluran udara memiliki mekanisme untuk mengusir bakteri dengan mengeluarkan dahak melalui batuk. Paru-paru yang rusak tidak bisa melakukannya sehingga bakteri cenderung berkumpul di dalam alveoli dan saluran udara dan menyebar di seluruh lobus paru-paru. Penderita PPOK membutuhkan waktu lama untuk pulih dari infeksi paru, yang dapat berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
  • Gagal jantung, jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah ke paru-paru karena begitu banyak jaringan paru-paru yang rusak. Beban ekstra ini membuat jantung melemah dan membesar.
  • Hipoksia (kekurangan oksigen dalam darah), organ tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan menjadi rusak. Kurangnya aliran darah ke otak, misalnya, dapat menyebabkan kebingungan, pelupa dan depresi. Pada kulit, kekurangan oksigen ini ditandai oleh semburat biru lebam (sianosis).
  • Pneumotoraks (pengempisan paru-paru), terdapat pengumpulan udara di sekitar paru-paru yang bocor dari jaringan paru yang rusak. Penumpukan udara ini menekan paru-paru, sehingga tidak dapat mengembang sebesar biasanya saat mengambil nafas.
penderita di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk dengan aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok, asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.
VI. GAMBARAN KLINIS DAN FISIK
1.  Anamnesis
·         Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
·         Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
·         Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
·         Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
·         Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
·         Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. . Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
·         Inspeksi
Ø  Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Ø  Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
Ø  Penggunaan otot bantu napas
Ø  Hipertropi otot bantu napas
Ø  Pelebaran sela iga
Ø  Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema tungkai.
Penampilan pink puffer atau blue bloater
·         Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
·         Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
·         Auskultasi
Ø  suara napas vesikuler normal, atau melemah
Ø  terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
Ø  ekspirasi memanjang
Ø  bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
Bronkitis kronik: gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan dimanifestasikan dalam bentuk batuk kronis serta membentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, minimal 2 tahun berturut-turut.
Emfisema: perubahan anatomi parenkim paru ditandai dengan pelebaran dinding alveolus, duktus alveolar, dan destruksi dinding alveolar (Muttaqin, 2008).

VII.          GAMBARAN LABORATORIUM

1.       Faal paru
·         Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
Ø  Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( %). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
Ø  VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
·         Uji bronkodilator
Ø  Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
Ø  -Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2.      Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3.      Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran :
·         Hiperinflasi
·         Hiperlusen
·         Ruang retrosternal melebar
·         Diafragma mendatar

Pada bronkitis kronik :
·         Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
4.       Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
·         Gagal napas kronik stabil
·         Gagal napas akut pada gagal napas kronik
5.      Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
6.      Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
7.      Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

VIII.        DIAGNOSA
Diagnosis awal dilakukan dokter dengan mempelajari riwayat pasien dan gejala-gejala yang dikeluhkan. Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, mendengarkan melalui stetoskop untuk mendeteksi suara berderak di paru-paru yang disebabkan oleh alveoli yang rusak. Diagnosis terbaik PPOK dilakukan dengan tes spirometri, menggunakan perangkat spirometer untuk mengukur seberapa dalam pernafasan seseorang dan seberapa cepat udara dapat bergerak masuk dan keluar dari paru-parunya. Penderita PPOK tidak bisa membuang nafas sebanyak dan secepat orang dengan paru-paru normal. Setelah melakukan pengujian, pasien diberi obat bronkodilator hirup. Spirometri diulangi, dan jika ada peningkatan besar dalam hasilnya, hal ini menunjukkan bahwa kondisinya bukan PPOK tetapi asma.
Karena beberapa penyakit paru lain dan penyakit jantung memiliki gejala yang mirip dengan PPOK maka, untuk menilai tingkat keparahan kondisi pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut diperlukan peperiksaan seperti,
·         Tes fungsi paru mungkin sukar dilakukan untuk pasien yang kondisinya parah ( PEF < 100 L/menit atau FEV1 < 1L mengindikasikan adanya eksaserbasi yang parah)
·         Pemeriksaan analisis gas darah (PaO2 < 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau Sa O2 < 90% dengan atau tanpa PaCO2 > 6,7 kPa (50mmHg), saat bernafas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya gagal nafas) dan (PaO2 < 6,7 kPa (50mmHg), PaCO2 > 9,3 kPa (70mmHg) dan pH < 7,30 memberi kesan episode yang mengancam jiwa dan perlu dilakukan monitor ketat serta penanganan intensif.
·         Foto torak dilakukan untuk melihat adanya komplikasi seperti pnemoni.
·         Elektrokardiografi (EKG) yang dapat membantu menegakkan diagnosisnhipertropi ventrikel kanan, aritmia dan iskemia.
·         Kultur dan sensitivitas kuman untuk mengetahui kuman penyebab serta resistensi kuman terhadap antibiotic yang dipakai. Pemeriksaan ini juga diperlukan jika tidak ada respon terhadap antibiotic yang dipakai sebagai pengobatan pada permulaan penyakit. Kuman penyebab eksaserbasi akut yang paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis dan H.influenzae.
·         Foto rontgen paru dilakukan untuk menunjukkan kelainan-kelainan pada paru-paru. Tes darah dapat menunjukkan tingkat oksigen yang rendah.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2006, PPOK dibagi atas 4 derajat:
  1. PPOK Ringan: biasanya tanpa gejala, faal paru VEP1/KVP < 70%
  2. PPOK Sedang: VEP1/KVP < 70%, atau 50% =< VEP1 < 80% prediksi
  3. PPOK Berat: VEP1/KVP < 70%, atau 30%=<VEP1<50% prediksi
  4. PPOK Sangat Berat: VEP1/KVP < 70% atau VEP1<30% atau VEP1<50% disertai gagal napas kronik
IX.             PROGNOSA
Bila sudah terdapat hipoksemia, prognosis biasanya kurang memuaskan dan mortalitas pada 2 ½ tahun kurang lebih 50%. Namun di samping survival perlu diketahui pula morbiditas pasien PPOK. Sebagai ilustrasi bahwa Inggris kehilangan 26 juta hari kerja orang/tahun oleh karena PPOK, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan 3 ½ juta hari kerja orang/tahun.

X.       PENATA LAKSANAAN

1.      Obat-obatan
a.      Bronkodilator
        Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
            Macam - macam bronkodilator :
·         Golongan antikolinergik
        Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
·         Golongan agonis beta - 2
        Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
·         Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
        Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
·         Golongan xantin
        Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b.      Antiinflamasi
        Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c.       Antibiotika
            Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
·         Lini I : amoksisilin makrolid
·         Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat sefalosporin kuinolon makrolid baru Perawatan di Rumah Sakit : dapat dipilih
·         Amoksilin dan klavulanat,
·          Sefalosporin generasi II & III injeksi,
·          Kuinolon per oral
 ditambah dengan yang anti pseudomonas,
·          Aminoglikose per injeksi,
·          Kuinolon per injeksi,
·          Sefalosporin generasi IV per injeksi

d.      Antioksidan
        Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e.       Mukolitik
        Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f.       Antitusif
        Dengan hati-hati
g.      Kortikosteroid
        Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.

2.      Edukasi
        Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
        Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga.
        Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
        Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala priority bahan edukasi sebagai berikut :
        1. Berhenti merokok
     Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
Ø  Macam obat dan jenisnya
Ø  Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
Ø  Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu saja )
Ø  Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
Ø  Kapan oksigen harus digunakan
Ø  Berapa dosisnya
Ø  Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
Ø  Batuk atau sesak bertambah
Ø  Sputum bertambah
Ø  Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

        Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :
Ringan
Ø  Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
Ø  Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti merokok
Ø  Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
Ø  Menggunakan obat dengan tepat
Ø  Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
Ø  Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
Ø  Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
Ø  Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
Ø  Penggunaan oksigen di rumah
Terapi Diet
        Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
Ø  Penurunan berat badan
Ø  Kadar albumin darah
Ø  Antropometri
Ø  Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
Ø  Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
        Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.
        Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxygen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
Ø  Hipofosfatemi
Ø   Hiperkalemi
Ø  Hipokalsemi
Ø  Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengankomposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.
3.      Penyuluhan
        Penyuluhan dapat diberikan kepada pasien agar pasien dapat mengetahui lebih luas tentang penyakit PPOK dan mengetahui cara pencegahannya dan penyebab utama dari penyakit tersebut.
4.      Terapi Oksigen
        Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
Manfaat oksigen
Ø  Mengurangi sesak
Ø  Memperbaiki aktiviti
Ø  Mengurangi hipertensi pulmonal
Ø  Mengurangi vasokonstriksi
Ø  Mengurangi hematokrit
Ø  Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
Ø  Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi
Ø  Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
Ø  Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
Macam terapi oksigen :
Ø  Pemberian oksigen jangka panjang
Ø  Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
Ø  Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Ø  Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
5.      Rehabilitasi PPOK                
        Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:
Ø  Simptom pernapasan berat
Ø   Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
Ø  Kualiti hidup yang menurun
        Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
Ø  Peningkatan VO2 max
Ø  Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobic
Ø  Peningkatan cardiac output dan meningkatan efisiensi distribusi darah
Ø  Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery Endurance exercise

XI.    GANGGUAN METABOLISME GIZI
Penurunan massa sel tubuh merupakan manifestasi sistemik yang penting pada PPOK dan terlihat berupa kehilangan lebih dari 40% actively metabolizing tissue. Perubahan massa sel tubuh diketahui melalui penurunan berat badan dan penurunan massa lemak bebas. Massa lemak bebas dapat dibagi 2 yaitu kompartemen intraseluler atau  massa sel tubuh  dan kompartemen ekstraseluler. Kompartemen intraseluler menggambarkan bagian pertukaran energi sedangkan kompartemen ekstraseluler menggambarkan substansi di luar sel. Kerusakan jaringan umumnya terjadi pada penderita PPOK dengan prevalensi 20% pada penderita PPOK stabil dan 35% pada penderita yang menjalani rehabilitasi medik. Massa lemak bebas yang hilang mempengaruhi proses pernapasan, fungsi otot perifer, kapasiti latihan dan status kesehatan. Penurunan berat badan mempunyai efek negatif terhadap prognosis penderita PPOK. melakukan penelitian retrospektif terhadap 400 penderita PPOK. Penelitian ini menemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT) kurang dari 25 kg/m2, umur dan PaO2 rendah merupakan prediktor yang bermakna terhadap peningkatan angka kematian sementara  Landbo dkk. menyatakan prognosis yang buruk pada penderita PPOK bila IMT kurang dari  20 kg/m2.
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan langsung antara kadar TNF-α dan laju metabolik istirahat serta hubungannya dengan peningkatan kadar acute phase protein. Tumor necrosis factor-α berhubungan dengan percepatan metabolisme dan perubahan protein serta peningkatan berkurangnya berat badan pada penderita PPOK. Inflamasi sistemik menyebabkan metabolisme yang berlebihan dan menginduksi respons katabolik. Beberapa mekanisme yang dapat menimbulkan peningkatan laju metabolisme antara lain pemakaian obat β2 agonis pada penderita PPOK, proses inflamasi serta hipoksia jaringan.
Penderita PPOK  cenderung mengalami kaheksia daripada malnutrisi. Asupan nutrisi penderita PPOK biasanya normal  bahkan lebih besar daripada normal sedangkan asupan nutrisi pada malnutrisi memang kurang. Laju metabolisme penderita PPOK biasanya meningkat tidak seperti pada penderita malnutrisi namun respons penderita PPOK terhadap asupan nutrisi seringkali buruk. Mekanisme lain yang menerangkan kaheksia adalah hubungan antara sitokin dengan leptin. Leptin adalah protein yang disintesis oleh jaringan lemak  dan berperan dalam keseimbangan energi. Kadar leptin berkurang pada penderita PPOK dengan berat badan rendah. Gangguan ketidakseimbangan energi berhubungan dengan peningkatan kadar leptin sebagai respons inflamasi sitemik selama eksaserbasi. Leptin juga berperan dalam imuniti sel T, angiogenesis, reproduksi dan kontrol ventilasi.
Ketidakseimbangan proses pemecahan dan penggantian protein juga berperan dalam proses penurunan massa sel tubuh. Penderita PPOK stabil yang tidak mengalami kerusakan jaringan tetap menunjukkan keseimbangan antara proses pemecahan dan pembentukan protein. Perubahan hormon juga berhubungan dengan perubahan protein. Insulin, Growth hormon (GH), insulin-like growth factors (IGFs) merupakan hormon anabolik yang membantu sintesis protein sementara glukokortikoid merangsang proses proteolisis pada jaringan otot. Insulin menekan proses pemecahan protein. Growth hormon meningkatkan massa lemak bebas, merangsang produksi hepar dan sekresi IGF-1.
Resistensi GH terjadi pada keadaan katabolisme saat inflamasi. Keadaan puasa dan katabolik berhubungan dengan penurunan GH yang terikat pada reseptor, ekspresi gen IGF-1 dan IGF-1 yang terikat protein. Perubahan IGF-1 selama katabolisme diterangkan sebagai mekanisme adaptasi untuk membantu pengurangan proses anabolik pada saat stres atau saat IGF-1 meningkat di jaringan. Pemberian IL-1 dan TNF-α pada hewan percobaan berhubungan dengan kadar IGF-1 plasma yang rendah dan penurunan sintesis protein. Sintesis protein yang dirangsang oleh IGF-1 dihambat pada saat mioblas terpajan TNF-α.
 Hormon anabolik seperti testosteron bekerja pada otot dengan dua cara. Pertama dengan merangsang efek anabolik protein melalui reseptor androgen, kedua dengan menghambat katabolik protein melalui netralisasi efek glukokortikoid. Penurunan kadar testosteron total dan bebas pada penderita PPOK telah banyak dilaporkan. Pemberian glukokortikoid sistemik dosis rendah sebagai antiinflamasi masih sering digunakan. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai keseimbangan hormon anabolik dan katabolik pada PPOK untuk mendapatkan strategi terapi yang lebih tepat.
XII. INTERAKSI OBAT DAN ZAT GIZI
Interaksi zat gizi-obat setidaknya bisa dijelaskan secara farmakodinamik dan farmakokinetik. Jika dua substansi menampakkan aksi farmakodinamik yang menguatkan atau mengganggu kerja masing-masing zat, berarti interaksi itu bertipe farmakodinamik. Dengan farmakokinetik, penyerapan, distribusi, eksresi, atau transformasi enzimatik salah satu substansi diubah, atau diganggu, oleh substansi lain. Sebagian besar interaksi obat-zat gizi berjenis yang kedua.
Sebagian besar diuretika menyebabkan perbanyakan eskresi, mengikuti pola  farmakokinetik. Golongan TIAZIDE mengakibatkan pertambahan eksresi zat-zat gizi semisal magnesium (desiensi berdampak sebagai asma, masalah kardiovaskuler, kram, osteoporosis, dan PMS: sindrom premenstrual), kalium, natrium (menyebabkan gangguan keseimbangan cairan), seng (sehingga memperlambat penyembuhan luka, mengganggu sense of smell and taste, dan sistem kekebalan), dan Co-Q10 (mengakibatkan gagal jantung kongestif, tekanan darah tinggi).
Golongan LOOP DIURETIC (furosemid, ethacrynic acid (lasix, bumec, edecrine) menyebabkan kekurangan vitamin B1 (berdampak menghambat produksi HCL lambung, mengganggu metabolism tepung, serta gangguan proses belajar), vitamin B6 dan C, kalsium, kalium, magnesium (meningkatkan eksresi dan menghambat absorpsi pasif), dan seng. Defisiensi vitamin B1 sebagian besar disebabkan oleh pertambahan eksresi melalui ginjal. Kekurangan ini segera terkoreksi jika diberi vitamin B1 sebanyak 100 mg (intravena) dua kali sehari selama satu minggu. Defisiensi kalium akan semakin parah jika magnesium telah pula terdefisiensi. Oleh karena itu, bagi mereka pengguna diuretika jenis ini, dianjurkan mengkonsumsi kalium dan magnesium secara bersamaan: dosis magnesium 300-500 mg sehari sudah cukup; koreksi kalium dengan slow-K atau micro-K, dan dengan pendampingan buah-buahan; namun hati-hati terhadap pengidap gagal ginjal. Kehadiran vitamin C dalam saluran cerna menyebabkan penyerapan furosemid bertambah, menghambat metabolism diuretik ini dalam saluran cerna, menambah reabsorpsi ginjal, serta meningkatkan fraksi furosemid yang tak terionisasi pada reseptor (pelajari reseptor apa, dan dimana). Pemberian vitamin C per oral 1000-2000 mg dua sampai tiga kali sehari terbukti berkasiat menyumbat kekurangan ini. Jika terjadi diare akibat kelebihan dosis, kurangi saja hingga saluran cerna penderita bisa mentolerir dosis itu.
Golongan POTASSIUM-SPARING DIURETICS: triamterene menyebabkan kekurangan kalsium, seng dan asam folat, sementara HCT dan triemterene mengakibatkan deplesi kalsium, asam folat dan vitamin B6 (penjelasannya coba ditanya langsung ke pakar gizi SHP dan NH: bagi-bagi tugas).
Makanan yang banyak mengandung Co-Q10 ialah kubis, bayam, bawang merah, wortel, ikan makerel dan sardin, kacang hazel (hazelnut), katul beras, serta kacang kedelai (namun, berapa besarannya per 100 gram bahan makanan, silahkan cari sendiri). Makanan yang kaya akan magnesium bisa dilihat dalam bahan kuliah saya di blok 9). Sumber makanan yang kaya akan vitamin-vitamin B1, B6, dan asam folat dapat anda lihat dalam buku teks: Handbook of Vitamin (Janos Zempleni et al., ed.) terbitan CRC Press, tahun 2007. Sementara, sumber makanan untuk mineral bisa diperoleh dari buku teks: Human Vitamin and Mineral Requirements: report of a joint FAO/WHO expert consultation Bangkok, Thailand. WHO, 2001. Juga: “Guidelines for glaucoma: Japan Glaucoma Society, 2004

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking