PENYAKIT
PARU OBSTRUKTIF KRONIK
(
PPOK )
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK )
adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya obstruksi aliran udara yang
disebabkan oleh bronkitis kronis atau empisema. Obstruksi aliran udara pada
umumnya progresif kadang diikuti oleh hiperaktivitas jalan nafas dan kadangkala
parsial reversibel, sekalipun e,pisema dan bronkitis kronis harus didiagnosa
dan dirawat sebagai penyakit khusus, sebagian besar pasien PPOK mempunyai tanda
dan gejala kedua penyakit tersebut. Sekitar 14 juta orang Amerika terserang
PPOK dan Asma sekarang menjadi penyebab kematian keempat di Amerika Serikat.
Lebih dari 90.000 kematian dilaporkan setiap tahunnya. Rata-rata kematian
akibat PPOK meningkat cepat, terutama pada penderita laki-laki lanjut usia.
Oleh karena itu penyakit PPOK haruslah mendapatkan pengobatan yang baik dan terutama perawatan yang komprehensif, semenjak serangan sampai dengan perawatan di rumah sakit. Dan yang lebih penting dalah perawatan untuk memberikan pengetahuan dan pendidikan kepada pasien dan keluarga tentang perawatan dan pencegahan serangan berulang pada pasien PPOK di rumah. Hal ini diperlukan perawatan yang komprehensif dan paripurna saat di Rumah Sakit.
Oleh karena itu penyakit PPOK haruslah mendapatkan pengobatan yang baik dan terutama perawatan yang komprehensif, semenjak serangan sampai dengan perawatan di rumah sakit. Dan yang lebih penting dalah perawatan untuk memberikan pengetahuan dan pendidikan kepada pasien dan keluarga tentang perawatan dan pencegahan serangan berulang pada pasien PPOK di rumah. Hal ini diperlukan perawatan yang komprehensif dan paripurna saat di Rumah Sakit.
II.
DEFINISI
PPOK merupakan
penyakit kronis yang ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara di dalam
saluran pernapasan yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial dan behubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas
yang beracun/ berbahaya. Istilah
penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary
Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit yang
mempunyai gejala berupa terhambatnya arus udara
pernapasan. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema
atau gabungan keduanya (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
Penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK) adalah istilah medis untuk bronkitis kronis dan
emfisema yang menyulitkan pernafasan. Bronkitis kronis
adalah peradangan saluran udara paru (bronkus) yang ditandai oleh batuk
berdahak selama minimal tiga bulan dalam setahun pada dua tahun berturut-turut.
Emfisema adalah kondisi di mana kantung udara (alveolus)
paru-paru kehilangan kemampuannya untuk mengembang
dan mengempis. PPOK adalah masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab
kematian no. 4 di Indonesia pada tahun 2010 menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO).
III.
PATOGENESA
Paru-paru adalah sepasang
kantung udara yang berada di kedua sisi dada. Ketika Anda bernafas, udara
tersedot melalui hidung dan mulut dan menuruni trakea (batang tenggorokan).
Trakea terbagi menjadi dua pipa saluran udara, satu pada setiap sisi paru, yang
kemudian bercabang di lobus paru-paru (dua cabang di sebelah kiri, tiga di
sebelah kanan). Pipa-pipa cabang yang disebut bronkus ini kemudian terbagi ke
pipa-pipa kecil yang disebut bronkiolus, yang berujung di kantung-kantung udara
kecil yang disebut alveolus (jamak: alveoli). Alveolus dilingkupi oleh jaringan
pembuluh darah kecil (kapiler). Di dalam alveolus ini pertukaran oksigen dan
karbon dioksida terjadi. Oksigen berjalan dari udara dalam alveolus ke kapiler,
dan karbon dioksida berjalan ke arah sebaliknya. Setelah masuk ke dalam darah,
oksigen dipompa dari paru-paru ke jantung dan kemudian ke seluruh tubuh. Karbon
dioksida di dalam alveolus dikeluarkan ke udara luar.Itulah cara kerja
paru-paru yang sehat.Pada penderita PPOK, prosesnya menjadi kacau dan kurang
efisien. Pada bronkitis kronis, bronki dan bronkiolus menjadi rusak dan meradang.
Pada emfisema, alveolus menjadi hancur. Sebagian besar kasus
PPOK melibatkan kombinasi antara emfisema dan bronkitis kronis. Pada PPOK yang
parah, transfer oksigen dan karbon dioksida sangat buruk sehingga penderita
mati lemas.
Pada bronkitis kronik terdapat
pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi,
hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
-
Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok
lama
-
Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah
-
Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat
pleura Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi
karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi,
fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama
obstruksi jalan napas.
Konsep
patogenesa PPOK
IV. ETIOLOGI
Kebiasaan merokok merupakan penyebab
kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Selain itu infeksi dan polusi juga salah satu
penyebabnya, ada juga yang berhubungan
dengan faktor keturunan, alergi, umur serta predisposisi genetik, tetapi belum
diketahui dengan jelas apakah faktor-faktor tersebut berperan atau tidak.
1.
Rokok
Menurut buku report of the WHO expert
comitte on smoking control, rokok adalah penyebab utama timbulnya COPD. Secara
pisiologis rokok berhubungan langsung dengan hiperflasia kelenjar mukosa
bronkus dan metaplasia skuamulus epitel saluran pernapasan. Juga dapat
menyebabkan bronkokonstriksi akut. Menurut Crofton & Doouglas merokok
menimbulkan pula inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofage alveolar dan
surfaktan.
Dalam pencatatan
riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
Ø Perokok
aktif
Ø Perokok
pasif
Ø Bekas
perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman
(IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun :
Ø Ringan
: 0-200
Ø Sedang
: 200-600
Ø Berat
: >600
2. Infeksi
Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang penderita
bronchitiskoronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah,
sertamenyebabkan kerusakan paru bertambah. Ekserbasi bronchitis koronis disangka
paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudaian menyebabkan infeksi
sekunder oleh bakteri.
3. Polusi
Polusi zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan brokhitis
adalah zat pereduksi seperti O2, zat- zat pengoksidasi seperti N2O,
hydrocarbon,aldehid dan ozon. (Ilmu penyakit dalam, 1996:755).
Pada
tipe emfisema yang langka, penyebabnya adalah kondisi genetik di mana terdapat
kekurangan antitripsin alfa-1. Protein ini biasanya membantu
melindungi paru-paru dari enzim berbahaya lain yang dapat menghancurkan
jaringan paru-paru. Pada orang dengan defisiensi antitripsin alfa-1,
merokok sangat berbahaya karena mempercepat perkembangan emfisema.
V.
GEJALA
Penderita PPOK biasanya adalah
perokok atau memiliki riwayat perokok berat (satu pak atau lebih sehari) selama
20 tahun atau lebih. Selain riwayat merokok, kondisi berikut dapat
mengindikasikan PPOK:
- Sesak nafas (dispnea), pada awalnya sesak nafas hanya dialami setelah beraktivitas fisik. Namun, ketika paru-paru semakin rusak, sesak nafas terjadi ketika melakukan pekerjaan harian rutin seperti berjalan dan menyiram tanaman atau bahkan saat beristirahat.
- Mengi dan batuk kronis, seringkali disertai dahak, yang berlangsung lama (berbulan-bulan).
- Sering mendapat infeksi paru, paringan paru-paru yang rusak lebih mudah terinfeksi, sehingga menyebabkan bronkitis akut dan pneumonia, terutama di musim hujan saat influenza merebak. Saluran udara memiliki mekanisme untuk mengusir bakteri dengan mengeluarkan dahak melalui batuk. Paru-paru yang rusak tidak bisa melakukannya sehingga bakteri cenderung berkumpul di dalam alveoli dan saluran udara dan menyebar di seluruh lobus paru-paru. Penderita PPOK membutuhkan waktu lama untuk pulih dari infeksi paru, yang dapat berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
- Gagal jantung, jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah ke paru-paru karena begitu banyak jaringan paru-paru yang rusak. Beban ekstra ini membuat jantung melemah dan membesar.
- Hipoksia (kekurangan oksigen dalam darah), organ tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan menjadi rusak. Kurangnya aliran darah ke otak, misalnya, dapat menyebabkan kebingungan, pelupa dan depresi. Pada kulit, kekurangan oksigen ini ditandai oleh semburat biru lebam (sianosis).
- Pneumotoraks (pengempisan paru-paru), terdapat pengumpulan udara di sekitar paru-paru yang bocor dari jaringan paru yang rusak. Penumpukan udara ini menekan paru-paru, sehingga tidak dapat mengembang sebesar biasanya saat mengambil nafas.
penderita di
atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk dengan
aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat pajanan
rokok, asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.
VI. GAMBARAN KLINIS DAN FISIK
1.
Anamnesis
·
Riwayat merokok atau bekas perokok
dengan atau tanpa gejala pernapasan
·
Riwayat terpajan zat iritan yang
bermakna di tempat kerja
·
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
·
Terdapat faktor predisposisi pada masa
bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
·
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
·
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2.
. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
·
Inspeksi
Ø Pursed
- lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Ø Barrel
chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)
Ø Penggunaan
otot bantu napas
Ø Hipertropi
otot bantu napas
Ø Pelebaran
sela iga
Ø Bila
telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan
edema tungkai.
Penampilan
pink puffer atau blue bloater
·
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
·
Perkusi
Pada emfisema
hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong
ke bawah
·
Auskultasi
Ø suara
napas vesikuler normal, atau melemah
Ø terdapat
ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
Ø ekspirasi
memanjang
Ø bunyi
jantung terdengar jauh
Pink
puffer
Gambaran
yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed
– lips breathing
Blue
bloater
Gambaran
khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai
dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed
- lips breathing
Adalah
sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.
Bronkitis kronik: gangguan klinis
yang ditandai dengan pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan
dimanifestasikan dalam bentuk batuk kronis serta membentuk sputum selama 3
bulan dalam setahun, minimal 2 tahun berturut-turut.
Emfisema: perubahan anatomi
parenkim paru ditandai dengan pelebaran dinding alveolus, duktus alveolar, dan
destruksi dinding alveolar (Muttaqin, 2008).
VII.
GAMBARAN
LABORATORIUM
1. Faal paru
·
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP,
VEP1/KVP
Ø Obstruksi
ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( %). Obstruksi : %
VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
Ø VEP1
merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit.Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak
mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%
·
Uji bronkodilator
Ø Dilakukan
dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. Setelah
pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat
perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan <
200 ml
Ø -Uji
bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah
rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk
menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran :
·
Hiperinflasi
·
Hiperlusen
·
Ruang retrosternal melebar
·
Diafragma mendatar
Pada bronkitis kronik :
·
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah
pada 21 % kasus
4.
Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
·
Gagal
napas kronik stabil
·
Gagal
napas akut pada gagal napas kronik
5.
Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh
Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
6.
Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
7.
Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita PPOK di Indonesia.
VIII.
DIAGNOSA
Diagnosis awal
dilakukan dokter dengan mempelajari riwayat pasien dan gejala-gejala yang
dikeluhkan. Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, mendengarkan melalui stetoskop
untuk mendeteksi suara berderak di paru-paru yang disebabkan oleh alveoli yang
rusak. Diagnosis terbaik PPOK dilakukan dengan tes spirometri, menggunakan
perangkat spirometer untuk mengukur seberapa dalam pernafasan seseorang dan
seberapa cepat udara dapat bergerak masuk dan keluar dari paru-parunya.
Penderita PPOK tidak bisa membuang nafas sebanyak dan secepat orang dengan
paru-paru normal. Setelah melakukan pengujian, pasien diberi obat bronkodilator
hirup. Spirometri diulangi, dan jika ada peningkatan besar dalam hasilnya, hal
ini menunjukkan bahwa kondisinya bukan PPOK tetapi asma.
Karena
beberapa penyakit paru lain dan penyakit jantung memiliki gejala yang mirip
dengan PPOK maka, untuk menilai tingkat keparahan kondisi pasien PPOK yang
mengalami eksaserbasi akut diperlukan peperiksaan seperti,
·
Tes fungsi paru mungkin sukar dilakukan untuk
pasien yang kondisinya parah ( PEF < 100 L/menit atau FEV1 <
1L mengindikasikan adanya eksaserbasi yang parah)
·
Pemeriksaan analisis gas darah (PaO2 < 8,0
kPa (60 mmHg) dan atau Sa O2 < 90% dengan atau tanpa PaCO2 > 6,7 kPa
(50mmHg), saat bernafas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya gagal
nafas) dan (PaO2 < 6,7 kPa (50mmHg), PaCO2 > 9,3 kPa (70mmHg) dan pH <
7,30 memberi kesan episode yang mengancam jiwa dan perlu dilakukan monitor
ketat serta penanganan intensif.
·
Foto torak dilakukan untuk melihat adanya
komplikasi seperti pnemoni.
·
Elektrokardiografi (EKG) yang dapat membantu
menegakkan diagnosisnhipertropi ventrikel kanan, aritmia dan iskemia.
·
Kultur dan sensitivitas kuman untuk mengetahui
kuman penyebab serta resistensi kuman terhadap antibiotic yang dipakai.
Pemeriksaan ini juga diperlukan jika tidak ada respon terhadap antibiotic yang
dipakai sebagai pengobatan pada permulaan penyakit. Kuman penyebab eksaserbasi
akut yang paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumoniae, Moraxella
catarrhalis dan H.influenzae.
·
Foto rontgen paru dilakukan untuk menunjukkan
kelainan-kelainan pada paru-paru. Tes darah dapat menunjukkan tingkat
oksigen yang rendah.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD) 2006, PPOK dibagi atas 4 derajat:
- PPOK Ringan: biasanya tanpa gejala, faal paru VEP1/KVP < 70%
- PPOK Sedang: VEP1/KVP < 70%, atau 50% =< VEP1 < 80% prediksi
- PPOK Berat: VEP1/KVP < 70%, atau 30%=<VEP1<50% prediksi
- PPOK Sangat Berat: VEP1/KVP < 70% atau VEP1<30% atau VEP1<50% disertai gagal napas kronik
IX.
PROGNOSA
Bila sudah terdapat hipoksemia, prognosis biasanya
kurang memuaskan dan mortalitas pada 2 ½ tahun kurang lebih 50%. Namun di
samping survival perlu diketahui pula morbiditas pasien PPOK. Sebagai
ilustrasi bahwa Inggris kehilangan 26 juta hari kerja orang/tahun oleh karena
PPOK, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan 3 ½ juta hari kerja
orang/tahun.
X. PENATA LAKSANAAN
1. Obat-obatan
a.
Bronkodilator
Diberikan secara
tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan
klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release )
atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam
- macam bronkodilator :
·
Golongan antikolinergik
Digunakan
pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi
sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
·
Golongan agonis beta - 2
Bentuk
inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai
obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip
untuk mengatasi eksaserbasi berat.
·
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta
- 2
Kombinasi
kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai
tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
·
Golongan xantin
Dalam
bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama
pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi
sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
b.
Antiinflamasi
Digunakan
bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon
atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila
terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c.
Antibiotika
Hanya
diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
·
Lini I : amoksisilin makrolid
·
Lini II : amoksisilin dan asam
klavulanat sefalosporin kuinolon makrolid baru Perawatan di Rumah Sakit : dapat
dipilih
·
Amoksilin dan klavulanat,
·
Sefalosporin
generasi II & III injeksi,
·
Kuinolon
per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas,
·
Aminoglikose
per injeksi,
·
Kuinolon
per injeksi,
·
Sefalosporin
generasi IV per injeksi
d.
Antioksidan
Dapat
mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e.
Mukolitik
Hanya
diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi,
terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi
pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f.
Antitusif
Dengan
hati-hati
g.
Kortikosteroid
Tidak
selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat
sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat
berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek
samping.
2. Edukasi
Edukasi
merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit
kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda
dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan
memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan
edukasi pada pasien PPOK :
1.
Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2.
Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3.
Mencapai aktiviti optimal
4.
Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi
PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi
dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat
ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik
rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan
memerlukan alat peraga.
Edukasi
yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan
semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan
pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien
PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi
penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan
adalah
1.
Pengetahuan dasar tentang PPOK
2.
Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3.
Cara pencegahan perburukan penyakit
4.
Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5.
Penyesuaian aktiviti
Agar
edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala
priority bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti
merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita
pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2.
Pengunaan obat - obatan
Ø Macam
obat dan jenisnya
Ø Cara
penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
Ø Waktu
penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu saja
)
Ø Dosis
obat yang tepat dan efek sampingnya
3.
Penggunaan oksigen
Ø Kapan
oksigen harus digunakan
Ø Berapa
dosisnya
Ø Mengetahui
efek samping kelebihan dosis oksigen
4.
Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5.
Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda
eksaserbasi :
Ø Batuk
atau sesak bertambah
Ø Sputum
bertambah
Ø Sputum
berubah warna
6.
Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7.
Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi
diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan
yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang
dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan.
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel
Pemberian
edukasi berdasar derajat penyakit :
Ringan
Ø Penyebab
dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
Ø Mencegah
penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti merokok
Ø Segera
berobat bila timbul gejala
Sedang
Ø Menggunakan
obat dengan tepat
Ø Mengenal
dan mengatasi eksaserbasi dini
Ø Program
latihan fisik dan pernapasan
Berat
Ø Informasi
tentang komplikasi yang dapat terjadi
Ø Penyesuaian
aktiviti dengan keterbatasan
Ø Penggunaan
oksigen di rumah
Terapi Diet
Malnutrisi
sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energy
akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru
dan perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi
dapat dievaluasi dengan :
Ø Penurunan
berat badan
Ø Kadar
albumin darah
Ø Antropometri
Ø Pengukuran
kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
Ø Hasil
metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi
malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah,
karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi
akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang
masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara
terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.
Komposisi
nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan
protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxygen
comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni.
Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat
menyebabkan kelelahan.Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK
karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari
gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
Ø Hipofosfatemi
Ø Hiperkalemi
Ø Hipokalsemi
Ø Hipomagnesemi
Gangguan
ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi
dengankomposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih
sering.
3. Penyuluhan
Penyuluhan
dapat diberikan kepada pasien agar pasien dapat mengetahui lebih luas tentang
penyakit PPOK dan mengetahui cara pencegahannya dan penyebab utama dari
penyakit tersebut.
4.
Terapi
Oksigen
Pada PPOK
terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel
dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ - organ lainnya.
Manfaat
oksigen
Ø Mengurangi sesak
Ø Memperbaiki aktiviti
Ø Mengurangi hipertensi pulmonal
Ø Mengurangi vasokonstriksi
Ø Mengurangi hematokrit
Ø Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
Ø Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi
Ø Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 <
90%
Ø Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat
O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda
- tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
Macam
terapi oksigen :
Ø Pemberian oksigen jangka panjang
Ø Pemberian oksigen pada waktu
aktiviti
Ø Pemberian oksigen pada waktu timbul
sesak mendadak
Ø Pemberian oksigen secara intensif
pada waktu gagal napas
5.
Rehabilitasi
PPOK
Tujuan program rehabilitasi
untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita
PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka
yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:
Ø Simptom pernapasan berat
Ø Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
Ø Kualiti hidup yang menurun
Program
dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin
yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program
rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan
latihan pernapasan. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem
transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
Ø Peningkatan VO2 max
Ø Perbaikan kapasiti kerja aerobik
maupun anaerobic
Ø Peningkatan cardiac output dan
meningkatan efisiensi distribusi darah
Ø Pemendekkan waktu yang diperlukan
untuk recovery Endurance exercise
XI. GANGGUAN METABOLISME GIZI
Penurunan massa sel tubuh
merupakan manifestasi sistemik yang penting pada PPOK dan terlihat berupa
kehilangan lebih dari 40% actively metabolizing tissue. Perubahan massa
sel tubuh diketahui melalui penurunan berat badan dan penurunan massa lemak
bebas. Massa lemak bebas dapat dibagi 2 yaitu kompartemen intraseluler
atau massa sel tubuh dan kompartemen ekstraseluler. Kompartemen
intraseluler menggambarkan bagian pertukaran energi sedangkan kompartemen
ekstraseluler menggambarkan substansi di luar sel. Kerusakan jaringan umumnya
terjadi pada penderita PPOK dengan prevalensi 20% pada penderita PPOK stabil
dan 35% pada penderita yang menjalani rehabilitasi medik. Massa lemak bebas
yang hilang mempengaruhi proses pernapasan, fungsi otot perifer, kapasiti latihan
dan status kesehatan. Penurunan berat badan mempunyai efek negatif terhadap
prognosis penderita PPOK. melakukan penelitian retrospektif terhadap 400
penderita PPOK. Penelitian ini menemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT) kurang
dari 25 kg/m2, umur dan PaO2 rendah merupakan prediktor
yang bermakna terhadap peningkatan angka kematian sementara Landbo dkk.
menyatakan prognosis yang buruk pada penderita PPOK bila IMT kurang dari
20 kg/m2.
Beberapa penelitian
menunjukkan hubungan langsung antara kadar TNF-α dan laju metabolik istirahat
serta hubungannya dengan peningkatan kadar acute phase protein. Tumor
necrosis factor-α berhubungan dengan percepatan metabolisme dan perubahan
protein serta peningkatan berkurangnya berat badan pada penderita PPOK.
Inflamasi sistemik menyebabkan metabolisme yang berlebihan dan menginduksi
respons katabolik. Beberapa mekanisme yang dapat menimbulkan peningkatan laju
metabolisme antara lain pemakaian obat β2 agonis pada penderita
PPOK, proses inflamasi serta hipoksia jaringan.
Penderita PPOK
cenderung mengalami kaheksia daripada malnutrisi. Asupan nutrisi penderita PPOK
biasanya normal bahkan lebih besar daripada normal sedangkan asupan
nutrisi pada malnutrisi memang kurang. Laju metabolisme penderita PPOK biasanya
meningkat tidak seperti pada penderita malnutrisi namun respons penderita PPOK
terhadap asupan nutrisi seringkali buruk. Mekanisme lain yang menerangkan
kaheksia adalah hubungan antara sitokin dengan leptin. Leptin adalah protein
yang disintesis oleh jaringan lemak dan berperan dalam keseimbangan
energi. Kadar leptin berkurang pada penderita PPOK dengan berat badan rendah.
Gangguan ketidakseimbangan energi berhubungan dengan peningkatan kadar leptin
sebagai respons inflamasi sitemik selama eksaserbasi. Leptin juga berperan
dalam imuniti sel T, angiogenesis, reproduksi dan kontrol ventilasi.
Ketidakseimbangan proses
pemecahan dan penggantian protein juga berperan dalam proses penurunan massa
sel tubuh. Penderita PPOK stabil yang tidak mengalami kerusakan jaringan tetap
menunjukkan keseimbangan antara proses pemecahan dan pembentukan protein.
Perubahan hormon juga berhubungan dengan perubahan protein. Insulin, Growth
hormon (GH), insulin-like growth factors (IGFs) merupakan hormon
anabolik yang membantu sintesis protein sementara glukokortikoid merangsang
proses proteolisis pada jaringan otot. Insulin menekan proses pemecahan
protein. Growth hormon meningkatkan massa lemak bebas, merangsang
produksi hepar dan sekresi IGF-1.
Resistensi GH terjadi pada
keadaan katabolisme saat inflamasi. Keadaan puasa dan katabolik berhubungan
dengan penurunan GH yang terikat pada reseptor, ekspresi gen IGF-1 dan IGF-1
yang terikat protein. Perubahan IGF-1 selama katabolisme diterangkan sebagai
mekanisme adaptasi untuk membantu pengurangan proses anabolik pada saat stres
atau saat IGF-1 meningkat di jaringan. Pemberian IL-1 dan TNF-α pada hewan
percobaan berhubungan dengan kadar IGF-1 plasma yang rendah dan penurunan
sintesis protein. Sintesis protein yang dirangsang oleh IGF-1 dihambat pada
saat mioblas terpajan TNF-α.
Hormon anabolik seperti
testosteron bekerja pada otot dengan dua cara. Pertama dengan merangsang efek
anabolik protein melalui reseptor androgen, kedua dengan menghambat katabolik
protein melalui netralisasi efek glukokortikoid. Penurunan kadar testosteron
total dan bebas pada penderita PPOK telah banyak dilaporkan. Pemberian
glukokortikoid sistemik dosis rendah sebagai antiinflamasi masih sering
digunakan. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai keseimbangan hormon anabolik
dan katabolik pada PPOK untuk mendapatkan strategi terapi yang lebih tepat.
XII. INTERAKSI OBAT DAN ZAT GIZI
Interaksi zat gizi-obat setidaknya
bisa dijelaskan secara farmakodinamik dan farmakokinetik. Jika dua substansi
menampakkan aksi farmakodinamik yang menguatkan atau mengganggu kerja
masing-masing zat, berarti interaksi itu bertipe farmakodinamik. Dengan
farmakokinetik, penyerapan, distribusi, eksresi, atau transformasi enzimatik
salah satu substansi diubah, atau diganggu, oleh substansi lain. Sebagian besar
interaksi obat-zat gizi berjenis yang kedua.
Sebagian besar diuretika
menyebabkan perbanyakan eskresi, mengikuti pola farmakokinetik.
Golongan TIAZIDE mengakibatkan pertambahan eksresi zat-zat gizi semisal
magnesium (desiensi berdampak sebagai asma, masalah kardiovaskuler, kram,
osteoporosis, dan PMS: sindrom premenstrual), kalium, natrium (menyebabkan
gangguan keseimbangan cairan), seng (sehingga memperlambat penyembuhan luka,
mengganggu sense of smell and taste, dan sistem kekebalan), dan Co-Q10
(mengakibatkan gagal jantung kongestif, tekanan darah tinggi).
Golongan LOOP DIURETIC (furosemid,
ethacrynic acid (lasix, bumec, edecrine) menyebabkan kekurangan vitamin B1
(berdampak menghambat produksi HCL lambung, mengganggu metabolism tepung, serta
gangguan proses belajar), vitamin B6 dan C, kalsium, kalium, magnesium
(meningkatkan eksresi dan menghambat absorpsi pasif), dan seng. Defisiensi
vitamin B1 sebagian besar disebabkan oleh pertambahan eksresi melalui ginjal.
Kekurangan ini segera terkoreksi jika diberi vitamin B1 sebanyak 100 mg
(intravena) dua kali sehari selama satu minggu. Defisiensi kalium akan semakin
parah jika magnesium telah pula terdefisiensi. Oleh karena itu, bagi mereka
pengguna diuretika jenis ini, dianjurkan mengkonsumsi kalium dan magnesium
secara bersamaan: dosis magnesium 300-500 mg sehari sudah cukup; koreksi kalium
dengan slow-K atau micro-K, dan dengan pendampingan buah-buahan; namun
hati-hati terhadap pengidap gagal ginjal. Kehadiran vitamin C dalam saluran
cerna menyebabkan penyerapan furosemid bertambah, menghambat metabolism
diuretik ini dalam saluran cerna, menambah reabsorpsi ginjal, serta
meningkatkan fraksi furosemid yang tak terionisasi pada reseptor (pelajari
reseptor apa, dan dimana). Pemberian vitamin C per oral 1000-2000 mg dua sampai
tiga kali sehari terbukti berkasiat menyumbat kekurangan ini. Jika terjadi
diare akibat kelebihan dosis, kurangi saja hingga saluran cerna penderita bisa
mentolerir dosis itu.
Golongan POTASSIUM-SPARING
DIURETICS: triamterene menyebabkan kekurangan kalsium, seng dan asam folat,
sementara HCT dan triemterene mengakibatkan deplesi kalsium, asam folat dan
vitamin B6 (penjelasannya coba ditanya langsung ke pakar gizi SHP dan NH:
bagi-bagi tugas).
Makanan yang banyak mengandung Co-Q10 ialah kubis, bayam, bawang merah,
wortel, ikan makerel dan sardin, kacang hazel (hazelnut), katul beras, serta
kacang kedelai (namun, berapa besarannya per 100 gram bahan makanan, silahkan
cari sendiri). Makanan yang kaya akan magnesium bisa dilihat dalam bahan kuliah
saya di blok 9). Sumber makanan yang kaya akan vitamin-vitamin B1, B6, dan asam
folat dapat anda lihat dalam buku teks: Handbook of Vitamin (Janos Zempleni et
al., ed.) terbitan CRC Press, tahun 2007. Sementara, sumber makanan untuk
mineral bisa diperoleh dari buku teks: Human Vitamin and Mineral Requirements:
report of a joint FAO/WHO expert consultation Bangkok, Thailand. WHO, 2001.
Juga: “Guidelines for glaucoma: Japan Glaucoma Society, 2004
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking